infertil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KONSEP DASAR INFERTILITAS
2.1.1. DEFINISI
1. Infertilitas atau ketidaksuburan adalah kesulitan untuk memperoleh keturunan pada pasangan yang tidak menggunakan kontrasepsi dan melakukan sanggama secara teratur (Depkes RI,2008).
2. Pasangan mandul ( infertil ) adalah pasangan yang telah kawin dan hidup harmonis serta telah berhubungan seks selama satu tahun tetapi belum terjadi kehamilan (Manuaba,2009).
3. Infertilitas berarti telah menikah dan melakukan hubungan seksual selama satu tahun namun belum berhasil hamil ( Manuaba,2010).
4. Pasangan infertilitas adalah pasangan yang apabila selama setahun berhubungan seks secara normal tanpa kontrasepsi tidak terjadi kehamilan (Syamsir,2007).
5. Ketidaksuburan (infertil) adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri belum mampu memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali seminggu dalam kurun waktu satu tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun (Djuwantono, 2008).
2.1.2. Klasifikasi infertil
1. Infertilitas primer adalah berarti pasangan suami istri belum mampu dan dan belum pernah memiliki anak setelah satu tahun berhubungan seksual sebanyak 2-3 kali per minggu tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun.
2. Infertilitas sekunder adalah berarti pasangan suami istri telah atau pernah memiliki anak sebelumnya, tetapi saat ini belum mampu memiliki anak lagi setelah satu tahun berhubungan seksual seksual sebanyak 2-3 kali per minggu tanpa menggunakan alat atau metode kontrasepsi dalam bentuk apapun (Djuwantono, 2008).
2.1.3. Etiologi
1. Faktor wanita (60-70%)
1) Faktor vagina
Yang dapat menghambat sperma:
a. Sumbatan psikogenik (vaginismus), anatomis (bawaan, didapat)
b. Radang (vaginitis): candida albicans, trichomonas vaginalis
2) Serviks
Penyebab infertilitas karena faktor servik adalah:
a. Sumbatan atau kelainan anatomis:
a) Kelainan bawaan (atresia) atau polips
b) Radang servik uteri (radang akut/kronik ̶> lendir mukopurulen ̶> pH bagian atas vagina berubah ̶> gerakan sperma berkurang.
c) Kelainan kanalis servikalis
d) Stenosis karena trauma, sinekia, konisasi, inseminasi buatan yang tidak adekuat.
b. Lendir servik abnormal (termasuk karena faktor imunologi)
c. Malposisi servik
3) Faktor imunologi
Ada 2 macam antibodi sperma yang dapat terbantuk dalam tubuh wanita:
a. Antibody aglutinasi sperma (sperm agglutinating antibody)
b. Antibody imobilisasi sperma (sperma immobilizing antibody)
Dalam tubuh pria sendiri dapat terbentuk autoantibody terhadap sperma misalnya pada pria pasca vasektomi.
4) Uterus
a. Mioma uteri berpengaruh terhadap fertilitas dan hasil konsepsi:
a) Abortus TM I dan II
b) Prematur
c) Kelainan letak
d) Gangguan transportasi sperma
b. Keadaan endometrium dipengaruhi estrogen dan progesteron dalam mempersiapkan nidasi dan pertumbuhan konseptus. Penilaian endometrium dilakukan dengan biopsi. Infeksi (endometritis) bisa menyebabkan infertilitas.
c. Snekhia intrauterine (asherman syndrome) dengan kriteria diagnosis:
a) Amenore setelah kuretase
b) Ovulasi (+)
c) Sondase sulit
d) Tidak ada perdarahan lucut setelah uji estrogen dan progesteron
e) Gambaran HCG
f) Diagnosa pasti histerektomi
5) Tuba fallopii
Fungsi tuba dalam fertilisasi:
a. Ovum pick up
b. Transport ovum dan sperma
c. Proses fertilisasi
d. Transport zigot ke uterus
Di ampula ovum akan tertahan kurang lebih 72 jam karena mengalami: maturasi, fertilisasi, segmentasi stadium embrio awal.
Penyebab infertilitas karena faktor tuba:
a. Infeksi (salphingitis)
b. Hidrosalping
(kurniawati, 2009)
6) Ovarium
Gangguan pada ovarium (indung telur), seperti adanya tumor atau kista endometriosis bisa mengakibatkan tidak terjadinya ovulasi. Sebab bagaimana bisa terjadi pembuahan bila tidak ada sel telur yang akan dibuahi (Manuaba, 2010).
7) Anovulasi
Salah satu penyebab infertilitas (ketidaksuburan) adalah anovulasi yaitu 35%. Anovulasi adalah tidak ada sel telur berarti tidak akan ada kehamilan. Ovulasi dan menstruasi adalah satu rangkaian orkestrasi kejadian hormonal didalam tubuh wanita, yang berarti mencerminkan suatu peristiwa yang teratur dan periodik (Syamsir,2007).
8) Obesitas
Berbagai penelitian terkini melaporkan bahwa obesitas juga menjadi faktor resiko pada kasus gangguan menstruasi yang terkait dengan gangguan hormonal. "Wanita gemuk menghasilkan estrogen lebih banyak, kata Ricard K Worley MD, lektor klinis bidang obstetrik dan ginekologi pada Pusat Ilmu Kesehatan University of Colorado di Denver, USA (Syamsir,2007).
9) Faktor Usia
Pada wanita, begitu masuk usia 35 tahun, kesuburan akan menurun dan semakin menurun drastis di usia 37 tahun sampai akhirnya masuk ke masa menopause di atas 40-45 tahunan. Cadangan sel telur akan terus berkurang setiap kali wanita mengalami menstruasi dan lama-kelamaan akan habis saat menopouse. Sebaliknya, usia tidak membatasi tingkat kesuburan pria dimana “pabrik sperma” akan terus memproduksi sel-sel sperma selama anatominya normal (www.bidanku.com,2012).
10) Gaya Hidup Yang Penuh Stres
Gaya hidup ternyata memegang peran besar dalam menyumbang angka kejadian infertilitas, yakni sebesar 15-20%. Gaya hidup yang serba cepat dan kompetitif dewasa ini rentan membuat seseorang terkena stres. Padahal kondisi jiwa yang penuh gejolak bisa menyebabkan gangguan ovulasi, gangguan spermatogenesis, spasme tuba fallopi, dan menurunnya frekuensi hubungan suami istri (www.bidanku.com,2012).
2. Faktor laki-laki (30-40%)
1) Menurut kurniawati 2009 kelainan sperma meliputi penyempitan saluran mani karena infeksi bawaan, faktor imonuglobik/antibody, antisperma, serta faktor gizi.
2) Kebiasaan Merokok
Merokok dapat menambah resiko kemandulan dan disfungsi ereksi pada pria. Nikotin membuat darah mengental sehingga tidak bisa beredar dengan lancar, termasuk di pembuluh darah alat kelamin. Akibatnya, muncul gangguan intimual seperti ejakulasi dini, ereksi tidak sempurna, bahkan impotensi (www.bidanku.com,2012).
3) Kebiasaan Minum Beralkohol
Alkohol dalam jumlah besar dapat menurunkan kadar hormon testoteron sehingga mengganggu produksi sperma (www.bidanku.com,2012 ).
4) Pengaruh Radiasi
Radiasi akan memberikan efek negatif terhadap konsentrasi dan kualitas sperma. Selain itu sperma yang terkena pengaruh radiasi akan memiliki gerakan berenang yang kurang baik yang akan mengurangi kesempatan untuk pembuahan (www.bidanku.com,2012).
5) Pengaruh Obat
Beberapa jenis obat bisa mempengaruhi tingkat kesuburan. Obat-obatan seperti antibiotika, pereda rasa sakit, obat penenang, dan obat hormonal dapat menurunkan tingkat kesuburan pria (www.bidanku.com,2012).
2.1.4. Pemeriksaan pasangan infertil
1. Syarat - syarat pemeriksaan
Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan. Itu berarti, kalau istri saja sedangkan suaminya tidak mau diperiksa, maka pasangan itu tidak diperiksa.
Adapun syarat-syarat pemeriksaan infertil adalah sebagai berikut:
1) Istri yang berumur antara 20-30 tahun baru akan diperiksa setelah berusaha untuk mendapat anak selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih dini apabila:
a. Pernah mengalami keguguran berulang
b. Diketahui mengidap kelainan endokrin
c. Pernah mengalami peradangan rongga panggul atau rongga perut, dan
d. Pernah mengalami bedah ginekologik.
2) Istri yang berumur antara 31-35 tahun dapat diperiksa pada kesempatan pertama pasangan itu datang ke dokter
3) Istri pasangan infertil yang berumur antara 36-40 tahun hanya dilakukan pemeriksaan infertilitas kalau belum mempunyai anak dari perkawinan ini.
4) Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang salah satu anggota pasangannya mengidap penyakit yang dapat membahayakan kesehatan istri atau anaknya (Winkjosastro, 2011).
2.1.5. Rencana dan jadwal pemeriksaan
Rencana dan jadwal pemeriksaan infertilitas terhadap suami dan istri selama 3 siklus haid istri dapat dilukiskan seperti pada tabel :
Tabel. 2.1 Jadwal pemeriksaan infertil
Sumber: Winkjosastro,2011
2.1.6. Pemeriksaan masalah infertilitas
1. Pemeriksaan mikroskopik
1) Konsentrasi spermatozoa
Menghitung konsentrasi spermatozoa dalam air mani sama caranya dengan menghitung konsentrasi sel darah. Cairan pengencernya adalah larutan George yang mengandung formalin 40%, sehingga spermatozoa menjadi tidak bergerak karenanya. Untuk menghitung kadar spermatozoa yang bergerak, dipakai larutan 0,9% NaCl, yang tidak membunuh spermatozoa yang bergerak. Dengan demikian yang dihitung hanyalah spermatozoa yang tidak bergerak saja. Selisih antara perhitungan larutan pengencer Goerge dan 0,9% NaCl menghasilkan konsentrasi spermatozoa yang bergerak.
2) Motilitas spermatozoa
Lebih penting dari konsentrasi spermatozoa ialah motilitasnya. Setetes air mani ditempatkan pada gelas obyek, kemudian ditutup dengan gelas penutup. Persentase spermatozoa motil ditaksir setelah memeriksa 25 lapangan pandangan besar. Jenis motilitas spermatozoa dibagi dalam skala 0 sampai 4, sebagai tampak pada tabel:
Tabel. 2.2 Skala gerakan ekor, kemajuan, arah, dan kecepatan spermatozoa
Gerakan ekorKemajuanArahKecepatan0
1
1+
2
2+
3
3+
4-
+
+
+
+
+
+
+-
-
±
+
+
+
+
+.
.
.
Liku-liku
Lurus
Lurus
Lurus
Lurus.
.
.
Lambat
Lambat
Cepat
Lebih cepat
Sangat cepatSumber: (winkjosastro, 2011)
Jarang sekali semua atau hampir semua spermatozoa ditemukan tidak bergerak. Apabila ternyata demikian, sebaiknya darah pasien diperiksa untuk kemungkinan antibodi imobilisasi spermatozoa dengan uji Isojima. Untuk meyakinkan apakah semua spermatozoa itu telah mati, dilakukan pulasan eosin-negrosin. Biasanya pada analisis air mani normal 2-3 jam setelah ejakulasi akan masih terdapat 60% spermatozoa bergerak maju lurus cepat. Sebagaimana dikatakan oleh MacLeod, plasma mani bukanlah medium yang baik untuk menyimpan spermatozoa dalam waktu yang lama, kecuali untuk beberapa menit saja, seperti terjadi pada senggama normal. Pada pemeriksaan pasca senggama segera, ternyata spermatozoa dapat mencapai lendir servik dalam 1 ½ menit setelah ejakulasi, dan tidak dapat hidup lama dalam sekret vagina karena keasamannya yang tinggi. Dengan demikian spermatozoa yang akan membuahi ovum itu, harus secepatnya membebaskan diri dari lingkungan plasma mani dan sekresi vagina. Oleh karena itu faktor vagina hampir tidak berpengaruh. Motilitas spermatozoa kurang dapat diperoleh dari suami sehat setelah tidak bersenggama lebih dari 10 hari. Hal ini mungkin karena kerusakan spermatozoa akibat terlampau lama ditimbun dalam sistem duktus. Pemeriksaan air mani berikutnya setelah abstinensi yang singkat akan memulihkan motilitas spermatozoa seperti semula.
3) Morfologi spermatozoa
Morfologi spermatozoa harus dianggap sama pentingnya dengan konsentrasi spermatozoa. Pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan dengan pulasan sediaan usap air mani, kemudian menghitung jenis spermatozoanya.
2. Uji ketidakcocokan imunologik
Uji kontak air mani dengan lendir servik ( sperm cervical mucus contact tes-SCMC test) yang dikembangkan oleh Kremer dan Jager dapat mempertunjukkan adanya anti bodi lokal pada pria dan wanita.
3. Uji pasca senggama
Walaupun uji Sims-Huhner atau uji pasca senggama telah lama dikenal diseluruh dunia, tetapi ternyata nilai kliniknya belum diterima secara seragam. Salah satu sebabnya ialah belum ada standarisasi cara melakukannya. Kebanyakan peneliti sepakat untuk melakukannya pada tengah siklus haid, yang berarti 1-2 hari sebelum meningkatnya suhu basal badan yang meningkat. Akan tetapi belum ada kesepakatan berapa hari abstinensi harus dilakukan sebelumnya, walaupun kebanyakan menganjurkan 2 hari. Demikian pula belum ada kesepakatan kapan pemeriksaan itu dilakukan setelah senggama. Menurut kepustakaan, yang melakukannya setelah 90 detik sampai setelah 8 hari. Sebagaimana telah diuraikan, spermatozoa sudah dapat mencapai lendir servik segera setelah senggama, dan dapat hidup di dalamnya sampai 8 hari. Menurut Denezis uji pascasenggama baru dapat dipercaya kalau dilakukan dalam 8 jam setelah senggama. Perloff melakukan penelitian pada golongan fertil dan infertil, dan berkesimpulan tidak ada perbedaan hasil antara kedua golongan itu kalau pemeriksaannya dilakukan lebih dari dua jam setelah senggama. Jika kesimpulan ini benar, maka uji pasca senggama dilakukan secepatnya setelah senggama, walaupun penilaian secepat itu tidak akan sempat menilai ketahanan hidup spermatozoa dalam lendir servik.
Cara pemeriksaan : setelah abstinensi selama 2 hari, pasangan dianjurkan melakukan senggama 2 jam sebelum saat yang ditentukan untuk datang ke dokter. Dengan spekulum vagina kering, servik ditampilkan, kemudian lendir servik yang tampak dibersihkan dengan kapas kering pula. Jangan menggunakan kapas basah oleh antiseptik karena dapat mematikan spermatozoa. Lendir servik diambil dengan isapan semprit tuberkulin, kemudian disemprotkan keluar pada gelas obyek, lalu ditutup dengan gelas penutup. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan lapangan pandangan besar (LPB).
4. Uji in vitro
1) Uji gelas obyek. Miller & Kurzok pada tahun 1932 memakai teknik yang sangat sederhana untuk mengukur kemamapuan spermatozoa masuk ke dalam lendir servik. Caranya dengan menempatkan setetes air mani dan setetes lendir servik pada gelas obyek, kemudian kedua bahan itu disinggungkan satu sama lain dengan meletakkan sebuah gelas penutup diatasnya. Spermatozoa akan tampak menyerbu ke dalam lendir servik, didahului pembentukan phalanges air mani ke dalam lendir servik. Menurut Perloff dan Steinberger, pembentukan phalanges itu bukan merupakan kegiatan spermatozoa, melainkan fenomena fisik kalau kedua cairan yang berbeda viskositas, tegangan permukaan, dan reologinya bersinggungan satu sama lain dibawah gelas penutup.
Gambar 2.1 Uji in vitro
Sumber : Winkjosastro, 2011
2) Uji kontak air mani dan lendir servik
Menurut Kremer dan Jeger, pada ejakulat autoimunisasi, gerakan maju spermatozoa akan berubah menjadi terhenti, atau gemetar ditempat kalau bersinggungan dengan lendir servik. Perangai gemetar ditempat ini terjadi pula kalau air mani yang normal bersinggungan dengan lendir servik dari wanita yang serumnya mengandung antibody terhadap spermatozoa.
Kremer dan Jeger melakukan uji tersebut dengan dua cara:
Cara pertama : setetes lendir servik praovulasi dengan tanda-tanda pengaruh estrogen yang baik dan pH lebih dari 7 diletakkan pada sebuah gelas obyek disamping setetes air mani. Kedua tetesan itu dicampur dan diaduk dengan sebuah gelas penutup, yang kemudian dipakai untuk menutup campuran itu. Setetes mani yang sama diletakkan pada gelas obyek itu juga, kemudian ditutup dengan gelas penutup. Penilaian dilakukan dengan membandingkan motilitas spermatozoa dari kedua sediaan itu. Sediaan itu kemudian disimpan ke dalam tatakan petri yang lembab pada suhu kamar, selama 30 menit, untuk kemudian diamati lagi.
Cara kedua : setetes besar lendir servik diletakkan pada sebuah gelas obyek, kemudian dilebarkan sampai diameternya 1 cm. Setetes air mani diletakkan di tengah-tengah lendir servik itu, kemudian lendir servik dan air mani ditutup dengan sebuah gelas penutup, sambil ditekan sedikit supaya air maninya dapat menyebar tipis diatas lendir servik. Setetes air mani yang sama diletakkan pula pada gelas obyek itu, kemudian ditutup dengan gelas penutup. Penilaian dilakukan sama seperti cara pertama. Uji ini sangat berguna untuk menyelidiki adanya faktor imunologi apabila uji pasca senggama selalu negatif atau kurang baik, sedangkan kualitas air mani dan lendir servik normal. Perbandingan banyaknya spermatozoa yang gemetar ditempat, yang maju pesat, dan yang tidak bergerak mungkin menentukan prognosis fertilitas pasangan itu.
5. Biopsi endometrium
Kapan biopsi itu dilakukan, tergantung dari keterangan yang ingin diperoleh. Apabila ingin memperoleh keterangan tentang pengaruh estrogen atau yang lain yang bukan hormonal, maka biopsi endometrium dilakukan pada hari ke-14. Apabila yang ingin diketahui adalah peradangan menahun (tuberkulosis), ovulasi, atau neoplasia, maka biopsinya dilakukan setelah ovulasi. Pada umumnya, waktu yang terbaik untuk melakukan biopsi adalah 5-6 hari setelah ovulasi, yaitu sesaat sebelum terjadinya implantasi blastosis pada permukaan endometrium. Biopsi yang dilakukan sebelum hari ke-7 setelah ovulasi itu akan mengurangi kemungkinan terganggunya kehamilan yang sedang terjadi. Biopsi yang dilakukan dalam 12 jam setelah haid masih dapat menilai endrometrium yang bersekresi, malahan granuloma tuberkulosis akan tampak lebih jelas. Walaupun biopsi ini maksudnya untuk menghindarkan kemungkinan terganggunya kehamilan, akan tetapi perdarahan hari pertama itu mungkin haid melainkan perdarahan intervilus.
Gambar 2.2 Biopsi endrometrium
6. Histerosalpingografi
Alat yang dianggap terbaik untuk menyuntikkan media kontras ialah kateter pediatrik Foley nomor 8, sebagaimana diuraikan oleh Ansari, untuk menghindarkan perlukaan dan perdarahan servik, menghindarkan perforasi uterus, mengurangi rasa nyeri, dan karena mudah mengatur sikap pasien. Kateter dimasukkan kedalam kavum uteri dengan bantuan klem, kemudian dipertahankan dengan pada tempatnya dengan menyuntikkan 2 ml air. Setelah spekulum vagina dilepaskan, media kontras disuntikkan ke dalam kavum uteri secukupnya dengan pengawasan fluoroskopi. Untuk mendapatkan gambaran segmen bawah uterus dan kanalis servikalis, balon dikempeskan sebentar sambil menyuntikkan media kontras. Keuntungan memakai media kontras air ialah: penyebarannya rata dalam kavum peritonei, cepat diserap (dalam 60 menit), menghindarkan kemungkinan terjadinya emboli, dan menimbulkan reaksi peritoneal yang tidak berarti. Kadang-kadang terjadi kejang tuba, sebagai reaksi terhadap nyeri atau ketakutan sewaktu dilakukan histerosalpingografi, yang akan memberikan gambaran palsu seperti sumbatan. Usaha menghindarkannya antara lain dengan obat nitrogliserin dibawah lidah, obat penenang, anestesi paraservikal, atau pemberian parenteral isoksuprin yang tidak selalu berhasil.
Gambar 2.3 Histerosalpingografi
Sumber : Winkjosastro, 2011
7. Histeroskopi
Histeroskopi adalah peneropongan kavum uteri yang sebelumnya telah digelembungkan dengan media dekstran 32%, glukosa 5%, garam fisiologik, atau gas CO2. Dalam infertilitas, pemeriksaan histeroskopi dilakukan apabila terdapat :
1) Kelainan pada pemeriksaan histerosalpingografi
2) Riwayat abortus habitualis
3) Dugaan adanya mioma atau polip submukosa
4) Perdarahan abnormal dari uterus, atau
5) Sebelum dilakukan bedah plastik tuba, untuk menempatkan kateter sebagai splint pada bagian proksimal tuba.
Histeroskopi tidak dilakukan bila di duga terdapat infeksi akut rongga panggul, kehamilan, atau perdarahan banyak dari uterus.
8. Pertubasi
Pertubasi atau uji Rubin, bertujuan memeriksa patensi tuba dengan jalan meniupkan gas CO2 melalui kanula atau kateter foley yang dipasang pada kanalis servikalis. Apabila kanalis servikouteri dan salah satu atau kedua tubanya paten, maka gas akan mengalir bebas ke dalam kavum peritoni. Patensi tuba akan dinilai dari catatan tekanan aliran gas sewaktu dilakukan peniupan. Insuflator apapun yang dipakai, kalau tekanan gasnya naik dan bertahan sampai 200 mmHg, tentu terdapat sumbatan tuba. Kalau naiknya sampai 80-100 mmHg, salah satu atau keduanya pastilah paten. Tanda lain yang menyokong patensi tuba ialah terdengarnya pada auskultasi suprasimfisis tiupan gas masuk ke dalam kavum peritonei seperti "bunyi jet" atau nyeri bahu segera setelah pasien dipersilahkan duduk sehabis pemeriksaan, akibat terjadinya pengumpulan gas dibawah diafragma. Saat yang terbaik untur pertubasi ialah setelah haid bersih dan sebelum ovulasi, yaitu pada hari ke 10 siklus haid. Pertubasi tidak dilakukan setelah ovulasi karena dapat mengganggu kehamilan yang mungkin telah terjadi. Lagipula, endometrium pada masa luteal itu menebal, yang dapat mengurangi kelancaran aliran gas.
9. Sitologi vagina hormonal
Sitologi vagina hormonal menyelidiki sel-sel yang terlepas dari selaput lendir vagina, sebagai pengaruh hormon-hormon ovarium (estrogen dan progesteron). Pemeriksaan ini sangat sederhana, mudah dan tidak menimbulkan nyeri, sehingga dapat dilakukan secara berkala pada seluruh siklus haid.
Tujuan pemeriksaan sitologi vagina hormonal ialah:
1) Memeriksa pengaruh estrogen dengan mengenal perubahan sitologik yang khas pada fase proliferasi.
2) Memeriksa adanya ovulasi dengan mengenal gambaran sitologik pada fase luteal lanjut
3) Menentukan saat ovulasi dengan mengenal gambaran sitologik ovulasi yang khas.
4) Memeriksa kelainan fungsi ovarium pada siklus haid yang tidak berovulasi.
Sitologi vagina hormonal tidak mengenal indikasi kontra. Walaupun demikian, pengenalan gambaran sitologik dapat dipersulit kalau terdapat perdarahan atau peradangan traktus genetalis. Oei melakukan pemeriksaan sitologi vagina sebagai berikut:
1) Sebuah tablet nimorozal dimasukan ke dalam vagina 2 hari sebelum setiap kali pemeriksaan, agar sediaan tidak dikotori sel-sel radang
2) Pemeriksaan direncanakan pada hari ke-8, 12, 18, dan 24 dari siklus haid
3) Pasien dilarang bersenggama, diperiksa dalamnya, atau membilas ke dalam vagina, dalam 24 jam sebelum pemeriksaannya.
4) Dengan spekulum vagina yang bersih, fornises lateralis ditampilkan
5) Lendir vagina dari fornises lateralis itu diusap dengan spatel kayu atau plastik yang bersih, kemudian dioleskan pada sebuah gelas obyek yang baru.
6) Difiksasi dengan alkohol 95%
7) Diwarnai dengan pulasan Harris-Shorr
10. Pemeriksaan hormonal
Pemeriksaan FSH berturut-turut untuk memeriksa kenaikan FSH tidak selalu mudah, karena perbedaan kenaikannya tidak sangat nyata, kecuali pada tengah-tengah siklus haid (walaupun masih kurang nyata dibandingkan dengan puncak LH). Pada fungsi ovarium yang tidak aktif, nilai FSH yang rendah sampai normal menunjukkan kelainan pada tingkat hipotalamus atau hipofisis, sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kelainan primernya pada ovarium. Pemeriksaan LH setiap hari pada wanita yang berovulasi dapat sangat nyata menunjukkan puncak LH, yang biasanya dipakai sebagai patokan saat ovulasi. Akan tetapi karena hipofisis mengeluarkan LHnya secara berkala, penentuan saat ovulasi dengan pemeriksaan ini dapat keliru ± 1 hari. Kekeliruan itu dapat dikurangi dengan melakukan pemeriksaan LH serum atau urine beberapa kali setiap hari, yang tidak selalu mudah dilakukan. Penentuan saat ovulasi dengan pemeriksaan LH ini baru dapat diyakinkan kalau pemeriksaan berikutnya menghasilkan nilai yang lebih rendah dengan nyata. Pada fungsi ovarium yang tidak aktif, nilai LH yang rendah atau tinggi, interpretasinya sama dengan untuk FSH. Pemeriksaan estrogen serum atau urine dapat memberikan banyak informasi tentang aktifitas ovarium dan penentuan saat ovulasi. Kalau pemeriksaan ini tidak ditujukan untuk penentuan saat ovulasi yang tepat, pemeriksaannya cukup seminggu sekali. Nilai estrogen urine yang tetap dibawah 10 mikrogram / 24 jam menunjukkan tidak adanya aktifitas ovarium. Nilai diatas 15 mikrogram / 24 jam menunjukkan adanya aktifitas folikular ovarium. Pemeriksaan perangai sekresi estrogen dan pregnandiol dalam 4 minggu dapat mempertunjukkan adanya siklus anovulasi dengan ekskresi estrogen terus menerus (20-50 mikrogram / 24 jam), atau dengan ekskresi estrogen yang berfluktuasi (puncak 40-200 mikrogram / 24 jam), atau dengan nilai pregnandiol rendah (kurang dari 1 mikrogram / 24 jam). Pemeriksaan progesteron plasma atau pregnandiol urine berguna untuk menunjukkan adanya ovulasi. Terjadinya ovulasi akan diikuti oleh peningkatan progesteron, yang sudah dapat diukur mulai 2 hari sebelum ovulasi, tetapi sangat nyata dalam 3 hari setelah ovulasi. Nilainya 20-40 kali lebih tinggi daripada fase folikular. Akan tetapi puncak estrogen dan LH masih dapat terjadi, sekalipun siklusnya anovulasi. Oleh karena itu, pemeriksaan estrogen dan LH yang ditujukan untuk mengetahui telah terjadinya ovulasi harus disertai pemeriksaan progesteron plasma atau pregnandiol urin kira - kira seminggu setelah ovulasi diperkirakan terjadi. Progesteron plasma diatas 10 nanogram / ml atau pregnandiol urine diatas 2 mg / 24 jam menunjukkan bahwa ovulasi telah terjadi. Nilai seperti itu dipertahankan kira-kira selama seminggu.
11. Pemeriksaan laparoskopi
Laparoskopi diagnostik telah menjadi bagian integral terakhir pengelolan infertilitas untuk memeriksa masalah peritoneum. Pada umumnya hanya mendiagnosis kelainan yang samar, khususnya pada istri pasangan infertil yang berumur 30 tahun lebih, atau yang telah mengalami infertilitas selama 3 tahun lebih. Esposito menganjurkan agar laparoskopi diagnostik dilakukan 6-8 bulan setelah pemeriksaan infertilitas dasar selesai dilakukan. Lebih terperinci lagi menurut Albano, indikasi untuk melakukan laparoskopi diagnostik adalah:
1. Apabila selama 1 tahun pengobatan belum juga terjadi kehamilan
2. Kalau siklus haid tidak teratur, atau suhu basal badan monofasik
3. Apabila istri pasangan infertil berumur 28 tahun lebih, atau mengalami infertilitas selama 3 tahun lebih
4. Kalau terdapat riwayat laparatomi
5. Kalau pernah dilakukan histerosalpingografi dengan media kontras larut minyak
6. Kalau terdapat riwayat apendisitis
7. Kalau pertubasi berkali-kali abnormal
8. Kalau disangka endometriosis
9. Kalau akan dilakukan inseminasi buatan (Winkjosastro,1999).
Gambar 2.4 Laparoskopi
Sumber : Winkjosastro, 2011
12. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sangat penting bagi pasangan infertil terutama ultrasonografi vaginal yang bertujuan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang anatomi alat kelamin bagian dalam, mengikuti tumbuh kembang folikel de Graaf yang matang, sebagai penuntun aspirasi (pengambilan) telur (ovum) pada folikel de Graff untuk pembiakan bayi tabung. Ultrasonografi vaginal dilakukan sekitar waktu ovulasi yang di dahului dengan pemberian pengobatan dengan klimofen sitrat atau obat perangsang telur lainnya (Manuaba, 2009).
2.1.7. Prognosis infertilitas
Menurut Berhman & Kistner, prognosis terjadinya kehamilan tergantung pada umur suami, umur istri, dan lamanya dihadapkan pada kemungkinan kehamilan (frekuensi senggama lamanya perkawinan). Fertilitas maksimal wanita dicapai pada umur 24 tahun, kemudian menurun perlahan-lahan sampai umur 30 tahun, dan setelah itu menurun dengan cepat. Menurut Macleod, fertilitas maksimal pria dicapai umur 24-25 tahun. Hampir pada setiap golongan umur pria proporsi terjadi kehamilan dalam waktu kurang dari 6 bulan meningkat, dengan meningkatnya frekuensi senggama. Ternyata, senggama 4x seminggu paling meluangkan terjadinya kehamilan, karena ternyata kualitas dan jenis motilitas spermatozoa meningkat lebih baik dengan seringnya ejakulasi. Penyelidikan jumlah bulan yang diperlukan untuk terjadinya kehamilan tanpa pemakaian kontrasepsi telah dilakukan di Taiwan dan Amerika Serikat dengan kesimpulan bahwa 25% akan hamil dalam 1 bulan pertama, 63% dalam 6 bulan pertama, 75% dalam 9 bulan pertama, 80% dalam 12 bulan pertama dan 90% dalam 18 bulan pertama. Dengan demikian, makin lama pasangan kawin tanpa hasil, makin turun prognosis kehamilannya. Hasil penyelidikan Dor et al menunjukkan apabila umur istri akan dibandingkan dengan angka kehamilannya, maka pada infertilitas primer terdapat penurunan yang tetap setelah umur 30 tahun. Pada infertilitas sekunder, terdapat juga penurunan, akan tetapi tidak securam pada infertilitas primer. Penyelidikan tersebut selanjutnya mengemukakan bahwa istri yang baru dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 3 tahun kurang, prognosis kehamilannya masih baik. Akan tetapi kalau sudah dihadapkan selama 5 tahun lebih, prognosisnya buruk. Oleh karena itu dianjurkan untuk tidak menunda pemeriksaan dan pengobatan infertilitas selama 3 tahun lebih (Winkjosastro, 2011).
2.1.8. Penanggulangan masalah infertilitas
1. Air mani yang abnormal
Air mani disebut abnormal kalau pada tiga kali pemeriksaan berturut-turut hasilnya tetap abnormal. Nasehat terbaik bagi pasangan dengan air mani abnormal adalah melakukan senggama berencana pada saat-saat masa subur istri. Adapun air mani yang abnornal masih dapat diperbaiki itu kalau disebabkan oleh verikokel, sumbatan, infeksi, defisiensi gonadotropin, atau hiperprolaktinemia.
2. Verikokel
Dubin dan Amelar mengumumkan hasil varikokelektomi tidak berhubungan besar kecilnya verikokel, adanya verikokel disertai motilitas spermatozoa yang kurang hampir selalu dianjurkan untuk operasi. Kira-kira dua per tiga pria dengan verikokel yang dioperasi akan mengalami perbaikan dalam motilitas spermatozoanya.
3. Sumbatan vas deferans
Pria yang tersumbat vasnya akan mempertunjukkan azoospermia, dengan besar testikel dan kadar FSH yang normal. Dua tanda terakhir itu sangat konsisten untuk spermatogenesis yang normal. Operasi vasoepididimostomi belum memuaskan hasilnya. Walaupun 90% dari ejakulatnya mengandung spermatozoa, akan tetapi angka kehamilannya berkisar sekitar 5-30 %.
4. Infeksi
Infeksi akut traktus genetalis dapat menyumbat vas atau merusak jaringan testis sehingga pria yang bersangkutan menjadi steril. Akan tetapi infeksi yang menahun mungkin hanya menurunkan kualitas spermatozoa, dan dapat diperbaiki seperti semula dengan pengobatan. Antibiotika yang terbaik adalah yang akan terkumpul dalam traktus genetalis dengan jumlah besar, seperti eritromisin, dimetilklortetrasiklin, dan trimetoprim sulfametoksazol. Nitrofurantoin jangan dipakai karena dapat menghambat spermatogenesis.
5. Defisiensi gonadotropin
Pria dengan defisiensi gonadotropin bawaan seringkali mengalami pubertas yang lambat, yang biasanya pernah mendapat pengobatan testosteron. Kalau sudah diobati sebelumnya, tanda-tanda seks sekundernya biasanya tampak jelas. Kalau belum pernah mendapat pengobatan, air maninya biasanya azoospermia dengan volum yang rendah, tubuhnya jangkung, testikelnya kecil. Sebagian besar pasien ini memerlukan pengobatan dengan LH dan FSH.
6. Hiperprolaktinemia
Hiperprolaktinemia pada pria dapat menyebabkab impotensi, testikel yang mengecil, dan kadang-kadang galaktorea. Analisis air mani biasanya normal atau sedikit berkurang. Akan tetapi Segal, et al. dan Saidi, et al., melaporkan adanya hubungan hiperprolaktinemia dengan oligospermia, yang kalau diobati dengan dopamin agonis 2-bromo-alfa-ergo-kriptin dapat memperbaiki spermatogenesisnya.
7. Uji pasca senggama yang abnormal
Sebagian besar uji pasca senggama yang abnormal disebabkan oleh saat pemeriksaan yang tidak tepat, baik terlampau dini ataupun terlampau lambat dalam siklus haid. Sekalipun pada seorang wanita yang fertil, terdapat kesempatan dua hari saja untuk melakukan uji pasca senggama yang tepat, yaitu sekitar tengah siklus haidnya. Oleh karena itu apabila diperoleh hasil uji pasca senggama yang abnormal, sebaiknya diulang beberapa kali lagi pada saat yang sangat tepat.
8. Mioma uteri
Mekanisme mioma uteri sampai menghambat terjadinya kehamilan belum jelas diketahui. Mungkin disebabkan oleh tekanan pada tuba, distorsi atau elongasi kavum uteri, iritasi miometrium, atau torsi oleh mioma yang bertangkai. Adapun mekanismenya, bahwa 50% istri yang dilakukan miomektomi dapat menjadi hamil membuktikan bahwa mioma uteri tersebut adalah sebabnya. Waktu yang diperlukan untuk menjadi hamil setelah dilakukan miomektomi kira - kira 18 bulan.
9. Masalah tuba yang tersumbat
Kalau infertilitas ternyata ada hubungannya dengan masalah tuba yang tersumbat, maka pengobatan saja sangat sedikit kemungkinan membawa hasil. Dalam hal memutuskan pembedahan, pasangan yang bersangkutan harus mempertimbangkan terlebih dahulu bagaimana kemungkinan keberhasilannya, dan bagaiman reaksi mereka terhadap kemungkinan kegagalan sama sekali. Indikasi pembedahan tuba adalah tersumbatnya seluruh atau sebagian tuba sebagaiman diperiksa dengan histerosalpingografi dan laparoskopi, tekukan tuba yang patologik, sakulasi tuba, perlekatan peritubular dan periovarial khususnya untuk membebaskan gerakan tuba dan ovarium. Pembedahan tuba tidak dilakukan kalau hasil analisis air mani suaminya abnormal, dan penyakit pada istri yang tidak membolehkan ia hamil.
10. Endometriosis
Terapi endometriosis terdiri dari (1) menunggu sampai terjadi kehamilan sendiri, (2) pengobatan hormonal, dan (3) pembedahan konservatif (winkjosastro,2011).
11. Inseminasi buatan
Cara ini dilakukan bila masalahnya pada pihak pria karena spermanya lemah, sehingga perlu dibantu dengan kateter khusus agar mencapai tujuannya dengan lebih mudah, atau bertemu langsung dengan sel telur. Sperma diolah dalam laboratorium, dan dipilih yang terbaik mutunya untuk kemudian diletakkan di leher rahim atau di rahim atau di saluran telur.
11 Bayi tabung
Bila saluran telur seorang wanita sedemikian rusaknya sehingga tidak mungkin lagi diatasi dengan pembedahan, atau yang tubanya rusak atau tertutup, masih ada harapan melalui teknik pembuahan dalam tabung atau IVF (in-vitro fertilization) atau lebih dikenal dengan teknik bayi tabung. Yang perlu dilakukan adalah wanita yang bersangkutan memiliki indung telur yang sehat dan dapat berfungsi, serta rahim yang sehat pula. Prosedur bayi tabung dimulai dengan perangsangan indung telur dengan hormon. Ini memacu perkembangan sejumlah folikel agar menghasilkan sel telur. Perkembangan pematangan sel telur dipantau secara teratur dengan dibantu alat ultrasonografi dan dilakukan juga pengukuran kadar hormon ekstradiol dalam darah. Perkembangan yang terakhir pengambilan sel telur matang dari permukaan indung telur tidak perlu lagi melalui operasi kecil tetapi cukup lewat pengisapan cairan folikel dengan tuntutan alat ultrasonografi transvaginal. Cairan folikel tersebut kemudian dibawa ke laboratorium dan seluruh sel telur yang diperoleh kemudian dieramkan dalam inkubator. Beberapa jam kemudian, kepada setiap sel telur ditambahkan sejumlah sperma yang telah diolah dan dipilih yang terbaik mutunya agar terjadi inseminasi. Telur-telur tersebut dilihat dengan mikroskop untuk memastikan bahwa proses pembuahan berjalan secara normal. Sekitar 18-20 jam kemudian akan terlihat proses pembuahan berhasil atau tidak. Sel telur yang dibuahi sperma disebut zigot, dan akan dipantau lagi selama 22-24 jam untuk dilihat perkembangan prosesnya menjadi embrio. Biasanya dokter akan memilih 4 embrio yang terbaik untuk ditanamkan kembali kedalam rahim. Jumlah tersebut adalah maksimal, karena apabila keempatnya berhasil dan terjadi kehamilan, resikonya akan besar terhadap ibu dan janin. Embrio-embrio yang terbaik itu kemudian diisap kedalam sebuah kateter khusus untuk dipindahkan kedalam rahim. Terjadinya kehamilan dap diketahui melalui pemeriksaan air seni 14 hari setelah pemindahan embrio. Walaupun umumnya hanya satu yang hidup, sebagian besar calon ibu sangat senang memikirkan kemungkinan untuk mendapatkan anak kembar. Langkah-langkah selanjutnya adalah melakukan pemantauan kondisi wanita itu untuk memastikan apakah embrio sudah tertanam, dan apakah kehamilan dapat berlangsung dengan normal.
12 Donor sperma, sel telur, dan rahim
Variasi dari usaha pembuahan dalam tabung tersebut adalah sel telur dari calon ibu dari sperma calon ayah/donor, atau sel telur dari donor, dan rahimnyapun dari donor. Sedangkan teknik yang lebih canggih dilakukan untuk kasus penyebab ketidaksuburan pasangan yang tidak dapat dijelaskan. Teknik tersebut disebut GIFT (Gammete intrafallopian transfer). Pada teknik ini sel telur diambil dari indung telur ibu, dan sperma ditambahkan ke dalam tabung penguji. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke sisi luar saluran telur dengan dipandu oleh laparaskop. Keberhasilan GIFT lebih tinggi dibandingkan dengan cara IVF. GIFT lebih disukai karena dapat menghindari kemungkinan terjadinya kerusakan saluran telur (Syamsir, 2007).
2.2. KONSEP DASAR CEMAS
2.2.1. Definisi
Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subyektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.
Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan di hubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (Suliswati dkk, 2008).
Kecemasan (Anxiety) adalah penjelmaan dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi manakala seseorang sedang mengalami berbagai tekanan-tekanan atau ketegangan (stress) seperti perasaan (frutrasi) dan pertentangan batin (konflik batin) (Prasetyono, 2007)
Kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang memaksa kita untuk berbuat sesuatu.
2.2.2 Etiologi
Hal yang dapat menimbulkan kecemasan biasanya bersumber dari:
1. Ancaman integritas biologi meliputi gangguan terhadap kebutuhan dasar makan, minum, kehangatan seks.
2. Ancaman terhadap keselamatan diri:
1) Tidak menemukan integritas diri
2) Tidak menemukan status dan prestise
3) Tidak memperoleh pengakuan dari orang lain
4) Ketidaksesuaian pandangan diri dengan lingkungan nyata (suliswati dkk, 2008).
2.2.3. Tingkat Kecemasan
Menurut Peplau ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik.
1. Kecemasan ringan
Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
2. Kecemasan sedang
Individu terfokus hanya pada fikiran yang menjadi perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.
3. Kecemasan berat
Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada det
il yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berfikir tentang hal-hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu banyak perintah / arahan untuk terfokus pada area lain.
4. Panik
Individu kehilangan kendali diri dan detil perhatian hilang. Karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah. Terjadi peningkatan aktifitas motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif. Biasanya disertai dengan diorganisasi kepribadian.
2.2.4. Teori Kecemasan
1. Teori psikoanalitik
Menurut Freud, kecemasan timbul akibat reaksi psikologis individu terhadap ketidakmampuan mencapai orgasme dalam hubungan seksual. Energi seksual yang yang tidak terekspresikan akan mengakibatkan rasa cemas. Kecemasan dapat timbul secara otomatis akibat dari stimulus internal dan eksternal yang berlebihan. Akibat stimulus (internal dan eksternal) yang berlebihan sehingga melampaui kemampuan individu untuk menanganinya. Ada dua tipe kecemasan yaitu kecemasan primer dan kecemasan subsekuen.
1) Kecemasan primer
Kejadian traumatik yang diawali saat bayi akibat adanya stimulasi tiba-tiba dan trauma pada saat persalinan, kemudian berlanjut dengan kemungkinan tidak tercapainya rasa puas akibat kelaparan atau kehausan. Penyebab kecemasan primer adalah keadaan ketegangan atau dorongan yang diakibatkan oleh faktor eksternal.
2) Kecemasan subsekuen
Sejalan dengan dengan peningkatan ego dan usia, Freud melihat ada jenis kecemasan lain akibat konflik emosi diantara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Freud menjelaskan bila terjadi kecemasan maka posisi ego sebagai pengembang id dan superego berada pada kondisi bahaya.
3) Teori interpersonal
Sullivan mengemukakan bahwa kecemasan timbul akibat ketidakmampuan untuk berhubungan interpersonal dan sebagai akibat penolakan. Kecemasan bisa dirasakan bila individu mempunyai kepekaan lingkungan. Kecemasan pertama kali ditentukan oleh hubungan ibu dan anak pada awal kehidupannya, bayi berespon seakan - akan ia dan ibunya adalah satu unit. Dengan bertambahnya usia, anak melihat ketidaknyamanan yang timbul akibat tindakannya sendiri dan diyakini bahwa ibunya setuju atau tidak setuju dengan perilakunya itu. Adanya trauma seperti perpisahan dengan orang berarti atau kehilangan dapat menyebabkan kecemasan pada individu. Kecemasan yang timbul pada masa berikutnya muncul saat individu mempersepsikan bahwa ia akan kehilangan orang yang dicintainya. Harga diri seseorang merupakan faktor penting yang berhubungan dengan kecemasan. Orang yang mempunyai predisposisi mengalami kecemasan adalah oarng yang mudah terancam, mempunyai opini negatif terhadap dirinya atau meragukan kemampuannya.
2. Teori perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil frustasi akibat berbagai hal yang mempengaruhi individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan misalnya memperoleh pekerjaan, berkeluarga, kesuksesan dalam sekolah. Perilaku merupakan hasil proses belajar dari pengalaman yang pernah dialami. Kecemasan dapat juga muncul melalui konflik antara dua pilihan yang saling berlawanan dan individu harus memilih salah satu. Konflik menimbulkan kecemasan dan kecemasan akan meningkatkan persepsi terhadap konflik dengan timbulnya perasaan ketidakberdayaan. Konflik muncul dari dua kecenderungan yaitu "approach" dan "avoidance". Approach merupakan kecenderungan untuk melakukan atau menggerakkan sesuatu. Avoidance adalah kebalikannya yaitu tidak melakukan atau menggerakkan sesuatu melalui sesuatu.
3. Teori keluarga
Studi pada keluarga dan epidemiologi memperlihatkan bahwa kecemasan selalu ada pada tiap-tiap keluarga dalam berbagai bentuk dan sifatnya heterogen.
4. Teori biologik
Otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepin, reseptor tersebut berfungsi membantu regulasi kecemasan. Regulasi tersebut berhubungan dengan aktifitas neurotransmiter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktifitas neuron dibagian otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
Bila GABA bersentuhan dengan sinaps dan berikatan dengan reseptor GABA pada membran post-sinaps akan membuka saluran/pintu reseptor sehiungga terjadi perpindahan ion. Perubahan ini akan mengakibatkan eksitasi sel dan memperlambat aktifitas sel. Teori ini menjelaskan bahwa individu yang sering mengalami kecemasan mempunyai masalah dengan proses neorutransmiter ini. Mekanisme koping juga dapat terganggu karena pengaruh toksik, defisiensi nutrisi, menurunnya suplai darah, perubahan hormon dan sebab fisik lainnya. Kelelahan dapat meningkatkan iritabilitas dan perasaan cemas.
2.2.5. Reaksi kecemasan
Kecemasan dapat menimbulkan reaksi konstruktif maupun dekstruktif bagi individu:
Konstruksif. Individu termotivasi untuk belajar mengadakan perubahan terutama perubahan terhadap perasaan tidak nyaman dan terfokus pada kelangsungan hidup. Contohnya : individu yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena akan dipromosikan naik jabatan.
Destruktif. Individu bertingkah laku maladaptif dan disfungsional. Contohnya : individu menghindari kontak dengan orang lain atau mengurung diri, tidak mau mengurus diri, tidak mau makan.
2.2.6. Implikasi keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian ditujukan pada fungsi fisiologis dan perubahan perilaku melalui gejala atau mekanisme koping sebagai pertahanan terhadap kecemasan. Terdapat dua tipe respon otonom tubuh terhadap kecemasan yaitu respon parasimpatis yang bertentangan dengan respon tubuh dan respon simpatis yang mengaktifkan proses tubuh. Respon simpatis lebih menonjol untuk mengaplikasikan tubuh mengatasi situasi emergensi melalui reaksi "fight" atau "flight".
2. Stresor predisposisi
Stresor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa :
1) Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.
2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.
3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berfikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
4) Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang berdampak terhadap ego.
5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.
6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stres akan mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang dialami karena pola mekanisme koping individu dapat dipelajari dalam keluarga.
7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respon individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.
8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang mengandung benzodizepin, karena benzodizepin dapat menekan neotransmiter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktifitas neuron diotak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
3. Stresor presipitasi
Stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat mencetuskan timbulnya kecemasan. Stresor presipitasi kecemasan dikelompokkan menjadi dua bagian :
1) Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas fisik yang meliputi:
a. Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun, regulasi suhu tubuh, perubahan bilogis normal.
b. Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal.
2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.
3) Sumber internal : kesulitan dalam berhubungan interpersonal dirumah dan ditempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri.
4) Sumber eksternal : kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
4. Perilaku
Secara langsung kecemasan dapat diekspresikan melalui respon fisiologis dan psikologis dan secara tidak langsung melalui pengembangan mekanisme koping sebagai pertahanan melawan kecemasan.
1) Respon fisiologis. Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis). Sistem saraf simpatis akan mengaktivasi proses tubuh, sedangkan sistem parasimpatis akan meminimalkan respon tubuh. Reaksi tubuh terhadap stres atau kecemasan adalah "fliht" atau "flight".
Bila korteks otak menerima rangsang akan dikirim melalui saraf simpatis ke kelenjar adrenal yang akan melepaskan adrenalin atau epineprin sehingga efeknya antara lain nafas menjadi lebih dalam, nadi meningkat dan tekanan darah meningkat. Darah akan tercurah terutama ke jantung, susunan saraf pusat dan otot. Dengan peningkatan glikogenolisis maka gula darah akan meningkat.
2) Respon psikologis. Kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak refleks. Kesulitan mendengarkan akan mengganggu hubungan dengan orang lain. Kecemasan dapat membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatan dengan orang lain.
3) Respon kognitif. Kecemasan dapat memengaruhi kemampuan berpikir baik proses pikir maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, kosentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapang persepsi, bingung.
4) Respon afektif. Secara afektif klien akan mengekspresikan dalm bentuk kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.
2.3. Konsep dasar Asuhan kebidanan pada infertil sekunder
2.3.1. Pengertian
Manajemen kebidanan adalah suatu metode dan pendekatan pemecahan masalah kesehatan yang digunakan oleh bidan dalam pemberian pelayanan dan asuhan kebidanan pada klien atau pasien. Yang dimaksud metode dan pendekatan disini adalah cara kerja sistematis dan analitik yang memudahkan dan mengarahkan kegiatan-kegiatan bidan dalam memecahkan masalah kesehatan ibu dan anak yang dihadapi dalam lingkup tanggung jawabnya secara tepat guna dan berhasil guna (Depkes RI, 2007).
2.3.2. Langkah-langkah proses manajemen kebidanan menurut varney
1. Langkah 1 : pengkajian data
Di dalam langkah pertama ini bidan sebagai tenaga profesional tidak dibenarkan untuk menduga-duga masalah dan tindakan kebidanan yang akan dilaksanakannya. Bidan harus mencari dan menggali data atau informasi baik dari klien atau pasien, dan keluarganya, anggota tim kesehatan lainnya, maupun data yang didapatkan dari hasil pemeriksaan bidan itu sendiri. Hasil dari proses ini adalah data atau fakta yang bermakna dalam bentuk data subyektif, obyektif dan data penunjang yang akan memberi gambaran keadaan kesehatan klien atau pasien (Depkes RI, 2007)
1) Data subyektif
Data subyektif adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara (anamnese) kepada klien atau pasien, keluarga klien atau pasien dan anggota tim kesehatan.
a. Identitas
Pencatatan identitas klien atau pasien dilakukan untuk maksud mengetahui secara lengkap tentang sasaran asuhan kebidanan. Pengenalan identitas tersebut mentapkan tindakan kebidanan (Depkes RI, 2007)
Identitas pasien/klien mencakup:
Nama : yang jelas dan lengkap karena kemungkinan nama yang sama, sehingga tidak terjadi kesalahan dan mempermudah dalam memberikan asuhan (Depkes RI,2007).
Umur : perlu ditanyakan untuk mengetahui apakah ibu termasuk dalam wanita usia subur.
Agama : perlu ditanyakan untuk mempermudah pendekatan dan memberikan support mental pada pasien infertil sekunder
Suku / bangsa: ditanyakan untuk mengetahui adanya faktor budaya dan adat istiadat pasien yang mempengaruhi kesehatan pasien.
Pendidikan : perlu diketahui untuk mengetahuio tingkat pengetahuan pasien, sehingga dapat mempermudah dalam memberikan pendidikan kesehatan (Depkes RI,2007)
Pekerjaan : ditanyakan untuk mengetaui kemungkinan pengaruh pekerjaan terhadap permasalahan infertilitas
Penghasilan : perlu diketahui untuk menilai pendapatan keluarga pasien karena akan sangat mempengaruhi derajat keshatan pasien.
Alamat : perlu ditanyakan untuk mengetahui lingkunga tempat tinggal dan akan mempermudah hubungan dalam keadaan mendesak (Depeks RI, 2007).
b. Keluhan utama
Pada ibu infertil alasan datang ke petugas kesehatan adalah sudah lama tidak KB dan melakukan hubungan seksual secara rutin, namun ibu tidak juga hamil (Depkes RI, 2007)
c. Data kebidanan
a) Riwayat menstruasi
Yang perlu ditanyakan dan dicatat antara lain: menarce, frekuensi, lamanya, banyaknya darah yang keluar saat menstruasi, HPHT (Depkes RI,2007).
b) Riwayat perkawinan
Perlu ditanyakan untuk mengetahui usia menikah, istri ke berapa, berapa kali menikah, dan berapa lama menikah.
c) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
Data ini diperlukan untuk mengetahui riwayat kehamilan, persalinan dan nifas meliputi jumlah kehamilan dan persalinan, jarak antara persalinan, umur setiap kehamilan, apakah ada komplikasi pada kehamilan, siapa yang menolong saat persalinan, kapan, bagaimana cara persalinannya, dimana, apakah ibu mengalami kesulitan saat bersalin, bagaimana keadaan anaknya saat lahir , jenis kelamin, berat badannya, serta adakah kelainan bawaan.
d) Riwayat kontrasepsi
Perlu ditanyakan untuk mengetahui apakah pasien pernah menggunakan kontrasepsi, jenis alat kontrasepsi tersebut, berapa lama, adakah keluhan selama menggunakan alat kontrasepsi tersebut.
d. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan diperlukan untuk memperoleh data mengenai riwayat kesehatan pasien baik riwayat kesehatan sekarang, yang lalu maupun riwayat kesehatan keluarga.
a) Riwayat kesehatan sekarang
Data ini ditanyakan untuk mengetahui keadaan kesehatan ibu saat ini dan keluhan yang dirasakannya.
b) Riwayat kesehatan yang lalu
Untuk mengetahui jenis penyakit yang pernah diderita ibu dimasa lalu terutama penyakit yang berhubungan dengan infertilitas seperti IMS (infeksi menular seksual), vaginismus, infeksi organ reproduksi, gangguan ovulasi, mioma uteri, endometriosis, kista, polip servik dan polip endometrium.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Data ini digunakan untuk mengetahui kemungkinan adanya pengaruh penyakit keluarga terhadap gangguan kesehatan klien. Penyakit keluarga yang perlu ditanyakan mencangkup penyakit menular maupun keturunan ( Depkes RI, 2007).
e. Data kebiasaan sehari-hari
a) Nutrisi : Perlu dikaji untuk mengetahui gambaran kualitas dan kuantitas makanan, serta untuk mengetahui status gizi pasien ( Saifuddin,2008 ).
b) Eliminasi : Untuk mengetahui frekuensi BAK dan BAB ibu dalam sehari, konsistensi dan keluhan. Apakah normal atau ada komplikasi misalnya obstipasi (Mochtar,2008).
c) Aktifitas : Untuk mengetahui kegiatan ibu sehari-hari
d) Istirahat : Untuk mengetahui pola istirahat ibu setiap hari
e) Personal hygiene : Untuk mengetahui pola kebersihan diri ibu, terutama alat kelamin.
f) Pola seksual : Perlu dikaji untuk mengetahui frekuensi hubungan seksual karena pada kasus infertilitas pasangan suami istri telah bersenggama secara teratur (2-3x/minggu) tanpa memakai metode pencegahan (djuwantono, 2008).
g) Pola kebiasaan : perlu dikaji untuk mengetahui kebiasaan ibu dan suami apakah ada yang merokok. Kebiasaan merokok suami dapat menambah risiko kemandulan dan disfungsi ereksi pada pria. Nikotin membuat darah mengental sehingga tidak bisa beredar dengan lancar, termasuk di pembuluh darah alat kelamin. Akibatnya, muncul gangguan intimual seperti ejakulasi dini, ereksi tidak sempurna, bahkan impotensi. Kebiasaan Minum Alkohol dalam jumlah besar dapat menurunkan kadar hormon testoteron sehingga mengganggu produksi sperma (www.bidanku.com,2012).
h) Pola ketergantungan : perlu dikaji untuk mengetahui apakah ibu tergantung terhapat obat tertentu. Beberapa jenis obat bisa mempenga-ruhi tingkat kesuburan. Obat-obatan seperti antibiotika, pereda rasa sakit, obat penenang, dan obat hormonal dapat menurunkan tingkat kesuburan pria (www.bidanku.com,2012).
f. Data psikologi dan budaya
Perlu dikaji untuk mengetahui respon ibu, suami dan keluarga terhadap keadaan ibu serta perilaku dan budaya apa saja yang telah dilakukan ibu.
2) Data obyektif
Data obyektif adalah data atau fakta yang diperoleh dari hasil pemeriksaan oleh bidan sendiri. Pemeriksaan fisik secara pandang (inspeksi), palpasi, auskultasi dan perkusi serta pemeriksaan pervaginam (Depkes RI, 2007).
1. Pemeriksaan umum
KU : baik/sedang/lemah
BB/TB : ... kg/... cm
TD : 90/60 - 140/90
Suhu : 35,8 - 37,3 °C
Nadi : 60 - 100 x/menit
RR : 16 - 20 x/menit
2. Pemeriksaan fisik pada infertil
Pemeriksaan meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi dari ujung rambut sampai ujung kaki (head to toe).
a) Rambut : untuk mengetahui keadaan rambut, mudah rontok atau tidak, berketombe atau tidak.
b) Mata : untuk mengetahui keadaan mata, conjungtiva merah muda atau pucat, sklera putih atau ikterik, mengetahui ekspresi wajah ibu (Depkes RI, 2007).
c) Muka : untuk mengetahui oedem atau chloasma gravidarum atau tidak, mengetahui ekspresi wajah ibu (Depkes RI, 2007).
d) Hidung : untuk mengetahui keadaan hidung, ada kelainan ada tidak (Depkes RI, 2007).
e) Mulut : untuk mengetahui adakah stomatitis dan caries gigi dan untuk mengetahui mulut bersih atau tidak (Depkes RI, 2007).
f) Telinga : untuk mengetahui apakah pada telinga ada kelainan tau tidak, simetris atau tidak.
g) Leher : untuk mengetahui apakah ada pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe (Depkes RI, 2007).
h) Payudara : untuk mengetahui keadaan payudara, kesimetrisan, apakah ada benjolan abnormal atau tidak.
i) Abdomen : untuk mengetahui bentuk abdomen, kesimetrisan, adakah pembesaran abnormal, luka bekas operasi dan adakah hiperpigmentasi linea nigrae dan striae alba.
j) Genetalia : untuk mengetahui keadaan genetalia apakah terdapat vaginitis, bartolinitis, serta ada atau tidaknya perdarahan.
k) Anus : untuk mengetahui apakah ada hemorroid
l) Ekstremitas : untuk mengetahui kemungkinan ada oedema dan varises atau tidak dan memeriksa reflek patella, bila reflek negatif kemunginan pasien mengalami kekurangan vitamin B1.
3. Pemeriksaan penunjang
1) Inspekulo :
Vagina : lendir servik abnormal dapat ditemukan pada kasus
infertilitas
2) USG : terdapat kelainan anatomi organ reproduksi bagian dalam
3) Biopsi : terdapat infeksi pada endometrium (endometriosis) (Winkjosastro, 2011).
4) Bimanual : terdapat kelainan pada alat genetali interna apakah terdapat mioma, kista, serta polip.
5) Lab :
a. Pada laki-laki
Mikroskopik : volume spermatozoa <2 ml
pH spermatozoa <7,2
Konsentrasi spermatozoa < 20jt/ml
Jumlah total spermatozoa <40jt
Morfologi spermatozoa < 30% memiliki bentuk normal
Motilitas spermatozoa < 50% dari jumlah total tidak bergerak secara aktif (djuwantono, 2008).
b. Pada perempuan
Pemeriksaan hormonal : FSH terlalu rendah atau terlalu tinggi dan LH rendah.
c. Uji kontak air mani dan lendir servik :
Pada ejakulat autoimunisasi, gerakan maju spermatozoa akan berubah menjadi terhenti, atau gemetar ditempat apabila bersinggungan dengan lendir servik (winkjosastro, 2011).
2. Langkah II : Identifikasi Diagnosa dan Masalah
Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosa atau masalah dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi data yang akurat atas data-data yang telah dikumpulkan kemudian diinterpretasikan sehingga dapat dirumuskan diagnosa dan masalah yang spesifik. Diagnosa kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan dalam lingkup praktek kebidanan dan harus memenuhi standart nomenklatur diagnosa kebidanan, yaitu :
1) Diakui dan telah disahkan oleh profesi
2) Berhubungan langsung dengan praktek kebidanan
3) Memiliki ciri khas kebidanan
4) Didukung oleh clinical judgement dalam lingkup praktek kebidanan
5) Dapat diselesaikan dengan pendekatan manajemen
Diagnosa kasus infertilitas sekunder didasarkan pada :
DS : ibu sudah lama tidak KB dan melakukan hubungan seksual secara rutin, namun tidak juga hamil.
DO :
Pemeriksaan umum
Keadaan umum : baik/ cukup/ lemah
BB/TB : ...... kg/ ...... cm
TD : 90/60 - 140/ 90 mmHg
Suhu : 35,8 - 37,3 °C
Nadi : 60 - 100 x/ menit
Pernafasan : 16 - 20 x/ menit
Inspeksi :
Vagina : pada beberapa kasus infertilitas terjadi radang pada
vagina (vaginitis)
4. Pemeriksaan penunjang
1) Inspekulo :
Vagina : lendir servik abnormal dapat ditemukan pada kasus
infertilitas
2) USG : terdapat kelainan anatomi organ reproduksi bagian dalam
3) Biopsi : terdapat infeksi pada endometrium (endometriosis) (Winkjosastro, 2011).
4) Bimanual : adanya kelainan pada alat genetalia interna, terdapat mioma, kista, serta polip.
5) Lab :
a. Pada laki-laki
Mikroskopik : volume spermatozoa <2 ml
pH spermatozoa <7,2
Konsentrasi spermatozoa < 20jt/ml
Jumlah total spermatozoa <40jt
Morfologi spermatozoa < 30% memiliki bentuk normal
Motilitas spermatozoa < 50% dari jumlah total tidak bergerak secara aktif (djuwantono, 2008).
b. Pada perempuan
Pemeriksaan hormonal : FSH terlalu rendah atau terlalu tinggi dan LH rendah.
c. Uji kontak air mani dan lendir servik :
Pada ejakulat autoimunisasi, gerakan maju spermatozoa akan berubah menjadi terhenti, atau gemetar ditempat apabila bersinggungan dengan lendir servik (winkjosastro, 2011).
Masalah : Cemas
DS : ibu khawatir dengan keadaannya saat ini
DO : wajah tampak cemas
3. Langkah III : Identifikasi diagnosa dan masalah potensial
Diagnosa potensial ditemukan berdasarkan masalah yang sudah diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan. Pada kasus infertil sekunder tidak terdapat diagnosa dan masalah potensial.
4. Langkah IV. Identifikasi kebutuhan dan tindakan segera
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter dan atau ada hal yang perlu dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan anggota tim kesehatn lain. Infertilitas sekunder tidak terdapat diagnosa dan masalh potensial, sehingga infertil sekunder tidak memerlukan kebutuhan dan tindakan segera.
5. Langkah V
Langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan penatalaksanaan terhadap masalah atau diagnosa yang telah diidentifikasi atau diantisipasi. Setiap rencana asuhan ini harus mendapatkan persetujuan dari klien karena pada langkah ini tugas bidan adalah merumuskan rencana asuhan sesuai dengan pembahasan asuhan bersama klien kemudian membuat kesepakatan sebelum melaksanakan. Berdasarkan indentifikasi diagnosa pada langkah sebelumnya ditemukan diagnosa "infertil sekunder" dan pada langkah ini bidan telah menentukan intervensi sebagai berikut :
Tujuan:
1) Ibu memahami tentang sistem reproduksi manusia dalam waktu 1x60 menit
2) Ibu mengetahui tentang keadaannya saat ini
Kriteria hasil:
1) Ibu dapat menyebutkan waktu masa suburnya
2) Ibu akan segera ke dr.SPOG setelah mendapat penjelasan dari petugas
INTERVENSI
1) Lakukan pendekatan terapeutik pada ibu
Rasional : membina hubungan saling percaya antara bidan dan keluarga dalam pelaksanaan tindakan
2) Jelaskan hasil pemeriksaan
Rasional : ibu mengetahui keadaannya saat ini
3) Jelaskan pada ibu tentang sistem reproduksi
Rasional : sistem reproduksi pada wanita adalah menghasilkan sel telur, dan sistem reproduksi laki-laki menghasilkan sel sperma, dan apabila kedua sel tersebut bertemu maka akan terjadi pembuahan dan pada saat itulah dimulai proses kehamilan.
4) Ajari ibu cara mengetahui masa subur ibu
Rasional : masa subur adalah masa dimana terjadi puncak kesuburan seorang wanita karena pada saat itu ovarium mengeluarkan sel telur yang siap untuk dibuahi sel sperma.
5) Ajari ibu metode lendir servik dan suhu basal tubuh
Rasional : mengetahui waktu masa subur dapat dilihat dengan perubahan lendir servik yang menjadi semakin bening dan mulur serta terjadinya peningkatan suhu basal tubuh.
6) Anjurkan ibu untuk melakukan hubungan seksual dengan suami pada saat masa subur
Rasional : pada saat masa subur ovarium mengeluarkan ovum yang siap untuk dibuahi oleh sel sperma, sehingga memungkinkan terjadinya konsepsi.
7) Anjurkan ibu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi untuk kesehatan reproduksi
Rasional : kekurangan nutrisi pada seseorang akan berdampak pada penurunan fungsi reproduksi.
8) Anjurkan ibu untuk menjaga personal hygiene terutama alat kelaminnya
Rasional : merupakan pencegahan infeksi pada organ reproduksi
9) Anjurkan suami ibu untuk berhenti merokok
Rasional : Merokok dapat menambah resiko kemandulan dan disfungsi ereksi pada pria.
10) Beritahu ibu pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk pasangan infertil
Rasional : pemeriksaan dilakukan untuk deteksi dini adanya kelainan pada pasangan suami istri
11) Anjurkan ibu untuk periksa ke Dr.SPOG
Rasional : deteksi dini kelainan dan tindak lanjut masalah yang dihadapi pasangan
Intervensi masalah cemas:
Tujuan : Mengurangi kecemasan ibu dalam waktu 1x15 menit
Kriteria hasil : Masalah cemas berkurang
INTERVENSI
1) Berikan dukungan moril pada ibu
Rasional : menguatkan mental ibu.
2) Ajari ibu beberapa teknik mengatasi kecemasan
Rasional : mengurangi kecemasan
3) Anjurkan ibu untuk datang lagi ke petugas kesehatan apabila ibu merasa kurang jelas dengan penjelasan petugas atau memerlukan konseling lg
Rasional : konseling yang efektif akan mengurangi kecemasan ibu.
6. Langkah VI. Implementasi
Langkah keenam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah ke lima dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan ini dilaksanakan seluruhnya oleh bidan atau sebagian lagi oleh klien, atau anggota tim kesehatan lainnya. Implementasi kasus infertil sekunder adalah :
1) Melakukan pendekatan terapeutik pada ibu
2) Menjelaskan hasil pemeriksaan bahwa keadaan ibu saat ini sehat, namun ibu mengalami keadaan infertililitas atau kemandulan, yang dinamakan infertil sekunder yaitu sebelumnya ibu pernah hamil kemudian ibu tidak dapat hamil lagi setelah melakukan hubungan seksual secara rutin selama 1 tahun tanpa menggunakan alat kontrasepsi apapun
3) Menjelaskan pada ibu tentang sistem reproduksi. Sistem reproduksi wanita menghasilkan sel telur, sedangkan sistem reproduksi laki-laki menghasilkan sel sperma. Apabila kedua sel tersebut saling bertemu maka akan terjadi pembuahan yang akan berkembang menjadi janin dalam proses kehamilan.
4) Mengajari ibu cara mengetahui waktu masa suburnya dengan menggunakan sistem kalender, yaitu masa subur terjadi 14 hari sebelum menstruasi berikutnya.
5) Mengajari ibu mengamati lendir servik yang bening dan semakin mulur serta terjadi peningkatan suhu basal tubuh pada saat masa subur.
6) Menganjurkan ibu untuk melakukan hubungan seksual dengan suami pada saat ibu mengalami masa subur, yaitu pada puncak masa subur yang terjadi pada 14 hari sebelum menstruasi berikutnya
7) Menganjurkan ibu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi terutama yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi, misalnya: daging dan alternatifnya (ikan, telur, kacang-kacangan), buah dan sayuran (buah, sayuran mentah, makanan segar, jus buah/ sayuran, buah kering), roti dan sereal yang tidak banyak diolah (roti, bubur, makanan kering, biji-bijian, gandum, spageti dan beras merah), susu dan hasil olahan susu (susu, yoghurt, keju).
8) Menganjurkan ibu untuk menjaga personal hygiene terutama alat kelaminnya. Dengan cara cebok yang benar, mengeringkan alat kelamin setelah cebok, segera mengganti celana dalam apabila terasa basah.
9) Menganjurkan suami ibu untuk berhenti merokok
10) Memberitahu ibu pemeriksaan yang harus dilakukan oleh pasangan infertil yang tidak hanya dilakukan pada istri, tetapi juga pada pihak suami.
11) Menganjurkan ibu untuk periksa ke dr. SPOG
Masalah: cemas
1) Memberikan dukungan moril pada ibu dengan cara meyakinkan pada ibu walaupun hanya mempunyai 1 anak, ibu dan pasangan tetap bisa bahagia
2) Mengajari ibu beberapa teknik mengatasi kecemasan seperti: menarik nafas panjang saat ibu merasa cemas, lebih mendekatkan diri kepada Allah, berwudhu.
3) Menganjurkan ibu untuk datang lagi ke petugas kesehatan apabila ibu merasa kurang jelas dengan penjelasan petugas atau memerlukan konseling lg
7. Langkah VII. Evaluasi
Mengevaluasi keefektifan asuhan yang sudah diberikan, mengulangi kembali proses manajemen dengan benar terhadap setiap aspek asuhan yang sudah dilaksanakan tetapi belum efektif ( Muslihatun, Nur Wafi, 2010). Penulisan pada langkah ini terdiri dari hari, tanggal, jam, yang terlebih dahulu disesuaikan dengan tujuan pada Intervensi (langkah V), dan Implementasi (langkah VI) dari SOAP yaitu :
S (Data Subjektif)
Data Subjektif (S), merupakan pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Hellen Varney langkah Pertama (pengkajian data).
O (Data Objektif)
Data Objektif (O) merupakan pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Helen Varney langkah Pertama (pengkajian data), terutama data yang diperoleh melalui hasil observasi yang jujur dari pemeriksaan fisik pasien, pemeriksaan laboratorium/ pemeriksaan diagnostik yang lain.
A (Assesment)
A (Assessment), merupakan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi ( kesimpulan) dari data subjektif dan obyektif. Dalam pendokumentasian manajemen kebidanan, karena keadaan pasien yang setiap saat bisa mengalami perubahan, dan akan ditemukan informasi baru dalam data subjektif maupun Objektif, maka proses pengkajian data akan menjadi sangat dinamis.
Analysis/assessment merupakan pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Hellen Varney langkah kedua, ketiga dan keempat sehingga mencakup hah-hal berikut ini diagnosis/masalah kebidanan, diagnosis/ maslah potensial serta perlunya mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera untuk antisipasi diagnosis/masalah potensial. Kebutuhan tindaka segera harus diidentifikasi menurut kewenangan bidan, meliputi tindakan mandiri, tindakan kolaboirasi dan tindakan merujuk klien.
P (Penatalaksanaan)
Penatalaksanaan adalah membuat rencana asuhan saat ini dan yang akan datang. Rencana asuhan disusun berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data. Rencana asuhan ini bertujuan harus bisa mencapai kriteria tujuan yang ingin dicapai dalam batas waktu tertentu.
Meskipun secara istilah, P adalah Penatalaksanaan saja, namun P adalah metode SOAP ini juga merupakan gambaran pendokumentasian implementasi dan evaluasi. Dengan kata lain, P adalah SOAP meliputi pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Helen Varney langkah ke lima, keenam, dan ketujuh.
Dalam Penatalaksanaan ini juga harus mencantumkan Evaluation/evaluasi, yaitu tafsiran dari efek tindakan yang telah diambiluntuk menilai efektifitas asuhan atau hasil pelaksanaan tindakan.
Evaluasi pada diagnosa infertil sekunder adalah:
S : Keluhan ibu setelah dilakukan asuhan kebidanan
O : Data yang didapatkan dari hasil pemeriksaan
A : Infertil sekunder
P : Lanjutkan intervensi
Evaluasi masalah cemas
S : Keluhan ibu setelah dilakukan asuhan kebidanan
O : Data yang didapatkan dari hasil pemeriksaan
A : Cemas berkurang
P : Lanjutkan intervensi
1 Komentar:
kita juga punya nih artikel mengenai 'Infertilitas', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3503/1/JURNAL_10503173_1.pdf
trimakasih
semoga bermanfaat
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda